Dalam menuju dan mempersiapkan pribadi yang baik untuk dapat berinteraksi sosial dengan lingkungannya, maka pendidikan anak tunarungu perlu dilengkapi dengan program bimbingan yang dapat disesuaikan dengan kondisi masa depan. Guru atau konselor harus memiliki pengetahuan khusus guna untuk memahami permasalahan yang dihadapi anak tunarungu.
Dalam proses bimbingan terdapat tiga unsur pokok yang terlibat yaitu : guru bimbingan, siswa ( anak tunarungu), dan situasi bantuan. Ketiga unsur pokok ini sangat menentukan keberhasilan bantuan. Meskipun demikian diantara ketiganya kemampuan guru bimbingan adalah paling menentukan. Karena guru bimbingan perlu dibekali keterampilan-keterampilan dan sifat-sifat kepribadian yang menunjang kemampuannya dalam mencapai tujuan bimbingan. Supriadi (1997) mengemukakan bahwa kompetensi yang perlu dimiliki guru pembimbing antara lain: (1) mengetahui dan menerapkan teknik-teknik bimbingan, (2) keterampilan-keterampilan sosial yaitu mampu membina hubungan baik dengan siswa (empati, lemah lembut, hangat, penuh pngertian, dan penghargaan pada siswa). (3) kelincahan dalam mengum-pulkan data dan informasi yang diperlukan, untuk kemudian menafsirkan, (4) kemampuan menafsirkan isyarat yang ditujukan oleh siswa dalam proses bimbingan, (5) rendah hati, tetapi mempunyai kepercayaan pada diri sendiri, (6) jujur dan murni, tidak berpura-pura terhadap dirinya maupun siswanya dan mempunyai integritas diri. Sifat-sifat dan keterampilan tersebut dapat diperoleh melalui belajar (pendidikan atau pelatihan) dan pengalaman.
Untuk selanjutnya seorang petugas bimbingan atau pun guru, harus memiliki latar belakang pengetahuan mengenai dinamika tingkah laku anak tunarungu. Pengetahuan ini diperlukan untuk dapat memahami kepribadian setiap anak. Seorang guru harus menyadari bahwa efek dari masalah yang sekunder ketunarunguan lebih berat atau sukar ditangani dari pada ketunarunguannya.
Dalam pelaksanaan bimbingan untuk anak tunarungu seorang konselor harus mampu membangkitkan kepercayaan dirinya, berfikir baik dan berinteraksi sosial dengan lingkungan tempat di mana anak tinggal atau hidup, dengan demikian secara bertahap tentu kepribadiannya dapat dikembangkan, dan diharapkan dia mampu mengambil suatu keputusan, sehingga tidak dihinggapi oleh kecemasan yang berlebihan, kecurigaan yang tingi, serta anak tunarungu betul-betul dapat menerima dan mengerti batas-batas kemampuannya tanpa penyesalan atau rasa rendah diri.
Dengan adanya dampak ketunarunguan yang telah tercermin dalam karakteristik diungkapkan diatas, semuanya berpengaruh terhadap kelancaran berjalannya proses pendidikan. Untuk mengatasi tantangan tersebut ada empat prinsip sebagai pertimbangan untuk mensukseskan pendidikan anak tunarungu, Harris dkk (1997) dan kawanya dari Universitas Gallauded (1997) menyampaikan antara lain : (1) anak tunarungu diharapkan mampu mengakses bereneka ragam lingkungan pendidikan secara luas, (2) para siswa tunarungu diharapkan mampu mengakses semua layanan khusus yang diperlukan untuk pertumbuhan pendidikan normal, (3) siswa dan para orang tua diharapkan mampu mengakses secara bebas pilihan program pendidikan, dan (4) tingginya biaya pendidian anak tunarungu tidak semata-mata disebabkan oleh satu atau beberapa faktor melainkan kompleks.
Cohen et.al. dalam Harris dkk (1997) berpendapat bahwa tingkat kemampuan yang rendah anak tunarungu tidak disebabkan karena ketidak mampuan belajar mereka tapi lebih disebabkan adanya problem-problem dalam komunikasi antara guru dan siswa tunarungu. dan juga disebabkan ketakmampuan mereka mengakses/memahami bahasa dalam setting di kelas. Hal yang paling penting lagi bahwa anak-anak didik secara meinstreming (terintegrasi) harus mampu memahami bahasa yang ada di lingkungan.
Para pendidik diharapkan mampu memberikan bantuan pada anak tunarungu dengan mengarahkan mereka pada lembaga bimbingan sebagai bimbingan tambahan. Seorang konselor/ pendidik apabila menemui masalah-masalah atau kesulitan dalam hal kebahasaan atau komunikasi dengan anak tunarungu, maka ia dapat menggunakan jasa penterjemah bahasa anak tuanarungu.
Upaya pengembangan psikologis dan sosial anak tunarungu dapat pula dilakukan dalam bentuk bimbingan dan pelayanan yakni :
1. Full Inclusion (integrasi penuh) melalui Program mentoring.
Giongreco dalam Gloria D. dkk (1997), mengemukakan definisi Full Inclusion adalah sebagai suatu keberadaan di mana hanya terdapat satu kesatuan sistem pendidikan formal yang meliputi semua anggota (peserta didik) secara wajar tanpa memandang perbedaan status mereka. Dan selanjut ia menyebutkan dalam hal Individual with Disabilities Education Act tahun 1990 (IDEA) mengungkapkan bahwa sekolah harus mencoba mengajar anak-anak yang mengalami gan gguan (Anak Luar Biasa) di kelas-kelas pendidikan umum dengan dukungan dan pelayanan yang sesuai sebelum mereka dipertimbangkan untuk ditempatkan di lingkungan yang lebih terbatas. Di mana sebelum anak luar biasa (ALB) yang mengalami penyimpangan yang berarti dari teman-teman seusianya sering ditempatkan secara langsung pada kelas-kelas pendidikan khusus dan tidak dimasukkan ke dalam seting pendidikan umum.
Full Inclusion tidak diartikan bahwa semua siswa akan dididik dengan menggunakan metode pengajaran yang sama atau mengerjakan tugas-tugas untuk mencapai tujuan pendidikan yang sama (Stainback & Stainback, dalam Berhring dkk (1997). Full Inclusion berarti bahwa semua siswa akan diberikan program pendidikan yang layak yang direfleksikan pada kemampuan dan kebutuhan siswa dengan dukungan yang diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan. Dukungan-dukungan yang penting ini bisa dalam bentuk pengajaran yang khusus, perlengkapan yang disesuaikan dan/atau personal-personal yang khusus. Agar Full inclusion berhasil, perlu adanya kerja sama (kolaborasi) antara guru pendidik umum, staf pendidikan khusus, dan konselor sekolah agar dapat memberikan program yang layak dan berarti bagi semua siswa (Horner dalam Berhring dkk ,1998).
Full inclusion harus dipandang sebagai suatu proses, dan proses ini menumbuhkan adanya individualisasi bagi setiap sekolah, siswa dan keluarga. IDEA secara jelas mengidentifikasikan pendidikan khusus sebagai suatu pelayanan bukan sebagai tempat.
Berarti pelayan yang diberikan oleh seorang konselor atau guru diharapkan dapat membangkitkan semangat hidup dalam mengambil sikap serta keputusan dengan penuh kesabaran dengan tidak mudah terpengaruh atau marah di dalam menghadapi lingkungan yang ada. Lingkungan hendaknya dapat memberikan respon-respon yang positif demi untuk pencegahan dari aspek psikologis maupun sosial. Melalui full incklusion merupakan alternatif pemecahan permasalahan dalam diri individu (Anak tunarungu). Dengan full inclusion kita memandang anak tunarungu sama dengan anak norma lainnya, tidak ada suatu jarak atau pemisahan antara anak normal dengan anak tunarungu.
Tujuan utama dari full inclusion adalah meningkatkan kompetensi anak tunarungu dalam hubungan dengan teman sebayanya. Yang menjadi tuntutan utama adalah keberhasilan penyesuaian sosial. Sedangkan manfaatnya dari integrasi penuh untuk masa depan antara lain:
• Anak Luar Biasa (anak tunarungu ) memperoleh peranan yang lebih normal
• Akan memudahkan mengarahkan ALB (anak tunarungu) untuk menunjukkan perilaku-perilaku yang lebih baik
• Bagi anak norma lainnya akan dapat memahami, sabar, dan meng-hargai perbedaan-perbedaan individual ALB (anak tunarungu) belajar menerima modifikasi aturan-aturan dalam PBM
Dengan memperoleh peranan yang lebih besar maka anak tunarungu akan merasa mampu memahami dirinya, menerima dirinya, mencegah dirinya dari permasalahan serta akan bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya. Bila anak tunarungu sanggup mencegah dan mengembangkan potensi yang dimilikinya tersebut maka secara psikologis aspek sosialnya akan terbentuk dan terbina dengan baik. Untuk itu seorang konselor dalam memberikan pelayanan diharapkan dapat mengarah kepada apa yang diinginkan dan keputusan yang diambil tidak memaksakan kehendak dari konselor sendiri melainkan mengacu kepada keinginan yang sangat diharapkan individu sendiri.
Merujuk kepada pendapat di atas untuk anak tunarungu dalam upaya pengembangan aspek psikologis dan sosial maka bisa kita terapkan dengan sistem integrasi penuh. Kita menyadari bahwa pelayanan pendidikan bagi anak luar biasa ( anak tunarungu khususnya) di Indonesia selama ini masih mempergunakan sistem segregasi, hal ini sangat berpengaruh kepada prilaku individu sehingga dalam berinteraksi dengan lingkungan di luar dari lingkungannya ia merasa minder dan curiga. Kondisi demikian langkah yang perlu ditempuh melalui layanan sistem integrasi. Sebagaiman yang di-kemukakan oleh Pemerintah melalui keputusan Mendikbud. No. 002/0/1986, tanggal 4 Januari 1986 tentang pendidikan terpadu, bahwa semua anak Indonesia usia sekolah, baik yang tergolong normal maupun luar biasa memperoleh kesempatan pendidikan yang sama di sekolah. Dengan demikian layanan pendidikan perlu didiseminasikan di seluruh wilayah Indonesia.
Maka kecenderungan pelayanan pendidikan anak luar biasa (anak tunarungu) maka dapat di arah-kan kepada jenis layanan melalui sistem pendidikan Full inclusion, ini merupakan langka positif untuk pengem-bangan psikologis dan sosial dari dampak ketunarunguan.
Pelaksanaan layanan dalam pengembangan aspek psikologis dan sosial maka guru/ konselor dapat melakukan pertama, pelayanan bimbingan dilakukan melalui teman sebaya atau dengan sistem mentoring, semua ini akan membantu kita di dalam menangani dan memberikan layanan bagi anak tunarungu yang ada di sekolah terpadu. Dan kegiatan, ini akan efektif dan efisien dalam pelaksanaannya dan mentor tinggal memantau bagaimana pelaksanaan bimbingan tersebut.
Orang-orang yang dijadikan sebagai konselor adalah teman sebayanya baik anak normal maupun dengan teman yang memiliki latar belakang dan karakteristik yang sama, misalkan anak tunarungu yang memiliki gangguan pendengaran yang ringan.
Mentoring adalah suatu kegiatan hubungan manusia yang melibat-kan pemberian dorongan dan bimbingan terhadap pertumbuhan dan perkembangan pribadi. Seorang mentor bukanlah konselor profesional, orang tua, pekerja sosial, atau teman bermain, tetapi mentor adalah seorang teman dan orang kepercayaan. Sedangkan Langkah-langkah untuk memulai sebuah program mentoring, Preyer dalam Gloria D. dkk (1997), berpendapat bahwa aspek-aspek untuk memulai suatu program mentoring dapat dilakukan yaitu: (1) Libatkan sekolah secara keseluruhan; program mentoring harus melengkapi kegiatan akademik siswa yang reguler. Guru, konselor dan administrator merupakan sumber untuk menentukan siswa yang akan dilibatkan dalam program mentoring. Guru dapat memberikan masukan terhadap jenis program yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Konselor oreantasinya membantu memecahan masalah, dan dapat membantu mentor untuk berkomunikasi baik, sedangkan administrator terlibat dalam dan pemilihan mentor, dan dapat juga dilibatkan dalam kegiatan perencanaan sekolah, (2) Identitas dan pilihan staf program; dari setiap sekolah dapat menunjuk satu orang untuk mengkoordinasikan program ini dan menjadi nara sumber bagi siswa dan mentor, (3) Perbaiki tujuan program, tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan pencapaian akademik dan tingkah lakunya serta meningkatkan komunikasi, kehadiran, partisipasi dan keterampilan sosial (4) Menentukan target populasi, populasi yang menjadi target harus diidentifikasi dengan jelas sesuai dengan kriteria yang mau dilibatkan. Jumlah siswa tidak terlalu besar sehingga dapat ditangani dengan baik. (5) Mengembangkan kegiatan dan prosedur, membuat petunjuk tentang pertemuan kontak antara mentor dengan siswa. Pertemuan tersebut hendaknya sering, mungkin antara 1 s.d 3 perminggu, dan hubungan antara siswa dengan mentor perlu dievaluasi setelah 6 bulan dan kemudian bila ternyata berhasil hendaknya dilanjutkan. (6) Orentasi mentor dengan siswa, sebelum mentor bekerja dengan siswa, maka harus ada pelatihan bagi mereka. Dan sebelum dimulai siswa harus sadar akan proses mentoring dan paham terhadap peranannya. (7) Monitorlah keberhasilan mentoring, monitoring selama pelaksanaan program supaya jangan terjadi penyimpangan. Diadakan pertemuan secara teratur dengan mentor untuk mengemukakan permasalahan dan keberhasilan yang dicapai. Kemudian diadakan pertemuan dengan siswa guna untuk mengkonfirmasikan manfaat dari kegiatan ini, (8) Pengelolaan proses yang sesuai, mentor harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan empaty terhadap siswa saat mengidentifikasi dan memberikan bantuan.(9) Evaluasi keefektifan program, evaluasinya didasarkan pada informasi yang diperoleh sebelumnya, selama dan sesudahnya, serta akan dapat mengukur keefektivan program mentoring dan mungkin dapat memberikan saran untuk perubahan dan perbaikan di masa mendatang. Peranan mentor, sebelum memberikan gambaran tetang peranan-nya terutama kita harus memahami makna atau pengertian dari mentoring itu sendiri. Peranan dari mentor adalah untuk memberikan bimbingan, dukungan, dan dorongan kepada siswa dengan cara memberikan model terhadapa sejumlah keterampilan termasuk di dalamnya komunikasi yang efektif, empathy, perhatian terhadap orang lain dan kemaun untuk bersikap terbuka dan jujur. Seorang mentor adalah orang yang matang, nara sumber, menjadi tempt bergantung dan dapat menunjukkan nilai-nilai dan rasa hormat terhadap orang lain.
Ada beberapa kegiatan yang dapat dilakukan siswa dan mentor dalam kunjungan. Saran untuk komunikasi ( berbicara dan mebaca), kegiatan santai, dan pemberian dukungan akademik (misal tutorial) dengan program pengajaran dapat dideskripsikan sebagai berikut.
Berbicara: siswa dan mentor dapat bercakap-cakap sebagaimana halnya teman dan mengkomunikasikan tentang permasalahan tertentu, hobi, kegiatan sekolah dan lain-lain; Membaca: kunjungan ke perpustakaan atau pusat media merupakan kegiatan yang baik untuk dimaksudkan dalam kegiatan mentoring. Mentor dan siswa dapat saling bercerita tentang cerita yang mereka baca; Kegiatan santai: permaianan semacam catur, main kartu, dan sebagainya dapat menjadi pengalaman yang memperakrab siswa dan mentor; Tutoring: mentor dapat membantu siswa untuk mengerjakan tugas tertentu, atau hal-hal lain bersifat akademik; Kunjungan lapangan, mentor, siswa, orang tua, dan guru dapat melakukan kegiatan lapangan bersama ke tempat-tempat bersejarah atau kegiatan olah raga.
Beberapa keberatan dan pertimbangan akhir dalam penggunaan mentoring ini menyangkut dengan keterkaitan hukum dan kebijakan sekolah dalam menjelaskan kepada peserta program. Kerja sama dengan guru dan dukungan dari suatu kebijakan merupakan prioritas utama. Kebijakan tersebut antara lain: (1) Orang tua hendaknya diberi tahu tentang program mentoring yang akan melibatkan anaknya, (2) mentor hendaknya tidak memindahkan siswa tanpa izin sekolah dan orang tua.(3) kegiatan di luar sekolah dan di luar jam harus dibawah pengawasan petugas sekolah, (4) di sekolah harus mempunyai informasi yang lengkap tentang mentor,(5) Sekolah harus tetap menjaga kerahasian informasi tentang siswa.
Kedua ;Konsultasi dengan keluarga dan konselor harus bekerja sama dan berkomunikasi dengan para orang tua. Konselor dapat membagi imformasi tentang perkembangan anaknya pada saat pelaksanaan pendidikan yang telah dilakukan dengan sistem inclusion. Guru-guru umumnya telah dipersiapkan dengan strategi pengajaran, program perilaku sosial yang sesuai dalam penempatan untuk memudahkan penyesuian siswa, dan secara terus-menerus memonitor kemajuan siswa melalui team yang ada yakni konselor sekolah dan guru khusus.
Konsultasi antara guru bimbingan dengan tenaga pengajar dapat meningkatkan komunikasi antara mereka, asal dalam berkonsultasi hendaknya menghindari sikap serba tahu dan berusaha menciptakan hubungan-hubungan yang bersifat kerja sama, dengan mengakui sepenuhnya keahlian guru dalam bidang yang dikelolanya.
Dalam berkonsultasi dengan orang tua anak tunarungu, guru pem-bimbing harus ingat bahwa mereka sangat terlibat secara pribadi dalam topik pembicaraan, lebih-lebih bila anak menimbulkan suatu masalah bagi keluarga atau sekolah. Guru bimbingan harus berusaha menciptakan suasana komunikasi yang menyenangkan antara pribadi yang serasi. Orang tua harus merasa bebas untuk mengungkapkan fikiran dan perasaan mereka secara luas, tanpa merasa terancam atau kecemasan dari dirinya.