Bangsa Indonesia yang telah berusia 65 tahun, dewasa ini sudah tidak mampu lagi memungkiri tentang tantangan yang dihadapinya di tengan peradaban dunia yang maju di semua bidang. Tantangan yang paling essensi yang harus dibenahi dalam menjawab tantangan ini, adalah penyiapan generasi muda “peserta didik yang duduk di bangku sekolah” yang penuh inovatif, informatif serta berakhlak baik. Raihan prestasi ini tentu saja melalui proses yang pelik, terencana dan terpadu serta berkesinambungan yang diusung oleh semua pihak yang berkecimpung dalam pendidikan di Indonesia. Terutama fungsi dan peran guru sebagai pendidik professional, tentunya yang paling terdepan dalam perjalanan panjang melahirkan generasi dambaan kita.
Berbicara mengenai pendidik tentu saja focus utama yang kita soroti adalah pembelajaran berbagai hal yang disodorkan kepada peserta didik. Karena aspek inilah yang dapat dijadikan penunjang utama kompetensi siswa dalam berbagai hal. Makna dari pembelajaran menurut Corey (1986:195) adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondidi-kondisai khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu. Mengajar menurut William H Burton adalah upaya memberikan Stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar.
Lantas bagaimana sinergi pendidik yang handal dalam memberikan pembelajaran di era globalisasi ini. Pertanyaan ini tentunya menyangkut semua aspek yang melekat pada diri pendidik yang harus disiapkan secara matang, menyangkut bahan ajar, model pembelajaran dan pengetahuan umum yang luas yang harus dimilki sang pendidik. Ibarat seorang konsultan berbagai hal, yang siap memberi solusi kepada peserta didik yang dibimbingnya. Peran seperti itulah yang menjadi jawaban tentang peran ideal pendidik.
Tidak pernah kita jumpai di dunia ini seorang konsultan yang piawai di berbagai bidang. Bila figure tersebut piawai di ekonomi misalnya, maka tentu saja dia akan awam di bidang konstruksi baja atau sebaliknya. Bila toh ada seorang konsultan yang piawai di lebih dari satu bidang, bukan berarti dia piawai di banyak bidang. Dengan demikian kita tidak bisa membayangkan bila sebuah figure harus berperan sebagai konsultan semua bidang yang harus di-share-kan kepada orang lain.
Kita tidak bisa memungkiri bahwa figure tersebut adalah seorang pendidik yang menyodorkan pembelajaran di depan peserta didiknya di era modernisasi pendidikan, yang menempatkan pendidik sebagai seorang fasiltator. Fasilitator dicirikan sebagai pamong pembelajaran dua arah, yang memungkinkan peserta didik menuntut informasi segala sesuatu yang dapat menunjang bahan ajar yang didiskusikan. Dalam hal ini seorang pendidik tidak mungkin untuk bersikap bull-lying (pembohong), yang memberikan informasi yang dia sendiri tidak mengerti, demi memuaskan peserta didik.
Informasi essensi dari berbagai bidang memang seharusnya di miliki seorang pendidik, meski pendidik tidak harus mengerti informasi detilnya. Lantaran peserta didikpun hanya sekedar menginginkan informasi umum untuk bekal mereka berinteraksi di tengah masyarakat. Bisa saja misalnya, seorang peserta didik di pembelajaran ekonomi meminta sang pendidik untuk memberikan informasi tentang peliknya perseteruan antar petinggi Negara, seputar meletusnya Gunung Merapi. Tidak mungkin bagi seorang pendidik untuk memberi jawaban tidak tahu menahu atau terpaksa harus berbohong.
Namun bila sang pendidik tetap konsisten dengan pendidik professional dan tetap antusius dalam membri pembelajaran pada siswanya, hal ini tidak menjadikan kendala berarti. Terlebih lagi bagi sang pendidik yang mengajar di jenjang sekolah menengah atas. Seperti kita ketahui bahwa, peserta didik yang duduk di bangku lanjutan atas, memiliki karakter yang aktif dalam hal dinamika psyologi. Menurut Mappiare (dalam Hurlock, 1990) remaja mulai bersikap kritis dan tidak mau begitu saja menerima pendapat dan perintah orang lain, remaja menanyakan alasan mengapa sesuatu perintah dianjurkan atau dilarang, remaja tidak mudah diyakinkan tanpa jalan pemikiran yang logis. Dengan perkembangan psikologis pada remaja, terjadi kekuatan mental, peningkatan kemampuan daya fikir, kemampuan mengingat dan memahami, serta terjadi peningkatan keberanian dalam mengemukakan pendapat. Selain itu peserta didik yang duduk di bangku sekolah menengah atas sudah mampu menyusun imajinasi tentang segala sesuatu yang dipelajarinya. Dalam hal ini mereka bisa saja meminta informasi tentang segala suseatu yang mampu menguatkan imajinasinya.
Guna menciptakan situasi belajar mengajar yang ideal dan menyenangkan tentunya pendidik bisa saja memperkaya khasanah pengetahuanya dengan cara membuka internet yang mampu mengusung informasi apa saja, atau dari Koran/majalah/tabloid On Line. Justru dengan perangkat dunia maya inilah sebuah pembelajaran yang handal mampu direalisasikan menuju The Smart Next Generation.
Apalagi dalam pendidikan karakter yang bakal diusung oleh Disdikpora di masa mendatang, kemampuan pendidik tersebut bakal turut membantu dalam upaya pendekatan pendidik dengan peserta didik yang harus di-built up karakternya, baik di tengah pembelajaran dalam dan di luar kelas. Apabila nilai plus telah dimiliki oleh 2.607.311 pendidik yang tersebar di seluruh Indonesia, maka tidak berlebihan bila capaian generasi pintar di masa depan akan diraih.