Catatan kali ini lahir dari sebuah pengalaman pribadi dan pengamatan terhadap nasib sejumlah kawan yang penulis pandang telah tenggelam di lautan cinta remaja. Memang sudah menjadi fithrah, di usia remaja, pemuda-pemudi cenderung termagnet untuk berpacaran atau paling tidak ber-kakak-adik-an dengan misi yang tidak begitu signifikan, yaitu sekedar menciptakan kenang-kenangan.
Hal tersebut dianggap sangat lumrah di usia remaja walau sebetulnya merupakan akibat dari pergaulan bebas maupun pengaruh dari pelbagai media yang kini semakin maju dan terus menantang. Bila memakai kaca mata agama, hal tersebut tentunya dipandang syubhat dan hanya menggoncangkan kualitas keimanan. Apalagi setelah melihat kenyataan bahwa lebih dari 85 persen cinta yang telah terjalin oleh anak-anak remaja hanya bisa dikategorikan cinta monyet yang umurnya sependek sakit pilek, ataupun cinta lokasi yang hanya sebatas mengisi kekosongan belaka. Bagi mereka yang sedikit berakal, tentunya hal tersebut terlalu sia-sia untuk dilalui, terlebih memperhatikan banyak hal berguna yang telah terabaikan begitu saja dan usia manusia sangatlah singkat untuk semuanya. Dapat dibuktikan juga dengan aneka penyesalan manusia setelah ia melewati masa tua.
Umumnya, manusia-manusia berdarah muda itu menikmati apa yang mereka jalani bersama kekasih-kekasih temporal mereka. Bahkan bangga dikatakan punya pacar atau punya teman dekat sekalipun. Tiada lain karena manusia telah tercipta sebagai makhluk yang memiliki ruh bahimi (sebagaimana halnya binatang) berupa kebutuhan kepada lawan jenis. Dari itulah kebanggan itu timbul, dan dari situ pula rasa cemburu atau iri dari pihak yang belum punya alias jomblo menjadi amat terasa. Padahal, ruh bahimi (syahwat) walau tak dapat dipisah dari jasad, namun dapat diasah dan diasuh melalui ruh takrimi yang berpusat pada akal, dan ruh imani yang berpusat pada hati.
Karena penulis tidak lebih dari seorang aktifis tasawuf dan tarekat, beranggapan bahwa kebutuhan pubertas itu memang baik untuk dipenuhi, namun amat disayangkan bila pemenuhan tersebut tidak melalui jalur asmara yang natural, melainkan sekedar wah-wahan dan gila-gilaan plus berlebihan dan terlewatkan penuh hampa, sehingga kejujuran dan kesetiaan nyaris tak lagi ditanamkan. Akhirnya sakit hati pun senantiasa menjadi santapan.
Berlebihan tidaklah layak dalam hal apapun, apalagi dalam hal cinta yang penuh duri itu. Cinta selalu dianggap karunia yang mesti disyukuri, padahal tak jarang juga ia sebagai cobaan, fitnah bahkan bencana. Masih banyak cinta-cinta lain yang signifikansinya jauh lebih bermutu dan berguna. Jauh lebih nikmat, lebih konstruktif dan lebih memaknai hidup. Mengapa cuma haus hub jinsi saja? bukankah cinta Tuhan lebih kita perlukan? cinta Rasul? cinta Ahlul-Bait? cinta Auliya’? apa sudah tergapaikan?
Menanggapi soal hukum pacaran, penulis sebetulnya tidak mau ambil pusing, karena mukadimah khithbah memang ada dalam Islam, kitapun dianjurkan untuk sepandai-pandainya mencari calon pendamping hidup yang elegan. Tergantung bagaimana seorang itu memfungsikan pacaran. Tentunya jika sebatas penyalur nafsu dan pembuka pintu ke jalan haram, penulis angkat tangan!
Pacaran dan kakak-adikan kurang baik jika :
– Mengabaikan kewajiban dan aktifitas pokok sehari-hari, khususnya bagi pelajar dan mahasiswa.
– Tidak membangun kepribadian, tapi justru merusak perangai dan menodai citra.
– Hanya melahirkan sakit hati, baik pada pihak yang bersangkutan maupun orang lain yang di sekitar.
– Mengundang fitnah dan image yang kurang sedap dari masyarakat.
– Hanya sebagai hiburan semata. Sebatas bermain-main yang tak ada ujung positifnya. Seperti nonton ke bioskop, jalan-jalan ke taman atau ke mall dan lain sebagainya.
– Tidak didasari niat yang mulia, seperti menjadikannya sebagai calon pendamping hidup atau minimal sebagai teman berbagi ilmu dan hikmah secara syar’i (bukan secara selebriti).
Maksud penulis disini sekedar mencegah para pemuda-pemudi dari kesia-siaan hidup, khususnya di usia remaja yang merupakan kesempatan berlian untuk membina mustaqbal yang cerah di masa yang akan datang. Sungguh hina bila tersita hanya untuk kata sayang!
Cinta remaja hampir semuanya dusta. Tidak lain karena cinta sesungguhnya hanya dapat dibuktikan bila terjalin dengan natural. Sebab definisi cinta adalah kecenderungan hati secara alami untuk menggapai ridho yang dicintai. Cinta remaja biasanya tumbuh tidak alami, ada banyak misi subyektif yang sebelumnya menggoda. Kehendak nafsu si pecinta pun selalu didahulukan daripada ridho orang yang dicintai. Lalu dimanakah cinta itu?
Tidak sedikit dari mereka yang terlalu gampang menaruh simpati. Lihat ini, ingin didekati. Lihat itu, mau dimiliki. Lihat yang lain, mau juga diajak jalan-jalan. Lihat lagi yang lain, ingin dijadikan teman akrab. Ada mahasiswi baru, langsung mau kenalan. Slow hidup ini mereka lalui, ternyata akhirnya menangis dan ingin bunuh diri !! Karena akrab dengan banyak lawan jenis tapi nasib selalu sial… cian de lu !!
Tidak sedikit juga dari mereka yang suka bermanja-manja. Ingin selalu didampingi pacarnya. “Dunia milik kita berdua” semboyan mereka. Alasannya tiada lain karena cinta. “Emangnya cinta itu berhala yang loe sembah-sembah?!” bantah Deddy Mizwar di film KSD yang lumayan mendidik itu.
Ada lagi jenis watak yang tidak jarang ditemukan; mudah cemburu! Nah, cemburu disini walau merupakan salah satu dari sifat-sifat Tuhan, tapi jenis cemburu yang mana dulu? kalau hanya cemburu buta karena terlalu ingin memiliki secara penuh dan tidak membangun atau memperbaiki, cemburu macam apa itu?! nyakitin diri sendiri aja!
Cinta remaja itu indah, kata mereka. Penulis sangat setuju karena sudah berkali-kali mengalami sekaligus menikmati. Tapi ada sifat lain yang banyak ditemukan pada karakter mayoritas anak muda, yaitu terlalu mengharap dan takut kehilangan. Seakan dunia ini sempit sesempit peti vampire. Penyakit yang satu ini jelas menandakan kelemahan iman.
Tidak sedikit juga dari mereka yang mengorbankan nyawa demi cinta. Memperebutkan cinta sampai pertumpahan darah pun melanda. Bertengkar / berantem / tidak akur hanya karena cinta. Menjadi pasien di rumah sakit jiwa pun karena putus cinta. Aduuuh gimana sih ah?!
Banyak lagi penyakit lain yang sudah merajalela di kalangan remaja, yang penulis boleh namakan dengan penyakit haus asmara. Penyakit terlalu berharap pada kasih manusia !! Kiat mengatasi haus asmara semacam itu, trik-trik di bawah ini semoga cukup membantu :
1. Perlu menanamkan nilai-nilai transendental dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara mendekatkan diri secara lebih serius kepada Tuhan yang nantinya Ia akan memperbaiki dan meluruskan segalanya. Sekaligus akan memberikan yang terbaik tanpa harus bersusah-payah. Karena bercinta dengan Tuhan, Nabi, Ahlul-Bait dan para Wali mampu membuat hati terbang melayang (mabuk asmara) menikmati angkasa cinta yang abadi dan penuh makna kasih sayang.
2. Nikmatilah banyak aktifitas yang lebih bermanfaat; berkarya, membaca, berkreasi atau apa saja, sehingga dunia cinta remaja tidak selalu membelenggu angan dan bukan satu-satunya penguras tenaga, biaya maupun pikiran.
3. Jauhkan sifat egoisme dan arogansi. Buang jauh-jauh cinta mati kepada dunia yang fana dan hanya fatamorgana, dimana cinta remaja merupakan bagian terhina dari permainan dunia itu.
4. Tingkatkan iman kepada qada’ dan qadar, dimana Tuhan telah mencatat di azali siapa yang akan menjadi pasangan hidup kita dan dari siapa anak-cucu kita akan dilahirkan. Semua telah tersurat di papan Lauh al-Mahfuz, jadi tidak perlu pusing-pusing dan banyak ulah. Semuanya skenario Tuhan. Nasib cucu kita di akhirat saja sudah tercatat, apalagi sekedar siapa bini/suami kita di dunia !! Tapi bukan berarti menafikan ikhtiar, hanya saja menghindari sifat ambisius dan ketergila-gilaan yang berlebihan. Santai coy, hubungan dengan Tuhan sudah baik, maka yang datang hanyalah yang terbaik. Dan tentunya baik di sisi kita belum tentu baik di sisi Tuhan. Iman kepada qada’ dan qadar dapat juga meningkatkan semangat egalitarian bahwa semua adalah sama di hadapan Tuhan dan apapun usaha kita, pada akhirnya nanti kita hanya mampu menerima apa yang telah digariskan.
Memahami empat trik di atas secara teoritis tak sesukar melaksanakannya dengan praktis. Dari itu beruntunglah orang yang selamat dari segala jenis permainan dunia. Mahaguru sejati penulis selaku tabib roh terhebat, memberi resep sederhana berupa amalan-amalan (wirid) harian yang secara efektif dan otomatis akan memberikan ketenangan ganda dalam menghadapi dan menjalani semuanya. Karena hati adalah raja, maka hanya dengan dzikir ketentraman nurani bisa diraih, yang kemudian segalanya membaik dengan sendirinya.